SEKOLAH TERBAIK DI INDONESIA - Seorang teman bertanya bagaimana mungkin saya membantu sebuah sekolah
RSBI padahal saya menentang program tersebut…?! Pertanyaan yang sangat
wajar. Ini bisa dianggap saya plin-plan. Menentang program RSBI tapi
justru menjadi konsultannya.
Saya tentu tidak membantu program RSBI-nya karena sebenarnya program
RSBI sudah tidak berjalan di sekolah-sekolah di Surabaya. Program RSBI
itu semuanya ‘based on project’ yang artinya kalau dananya habis ya
‘good bye’ lah programnya. Saat ini sudah tidak ada lagi dana bagi
program RSBI dari Pusat sedangkan pemerintah kota Surabaya juga tidak
mengucurkan dana bagi sekolah-sekolah RSBI-nya. Itu artinya program RSBI
sudah ‘kukut’ di Surabaya.
Jadi yg saya bantu adalah SMAN 5 Surabaya dengan program-program yg
kami rancang bersama. Dan itu tidak ada hubungannya dengan proyeknya
RSBI. Lagipula toh dana RSBI sudah tidak ada lagi.
Program apa saja sih yang hendak kami jalankan di SMAN 5 Sby dan
bagaimana program tersebut akan dapat menjadikan SMAN 5 Surabaya sebagai
‘the best school in Indonesia’…?!
Bagaimana agar program-program tersebut bisa berjalan tanpa adanya
dana tambahan selain biaya operasional sekolah yg sama jumlahnya dengan
sekolah lain….?!
Saya menjawab pertanyaan ini dengan bergurau : “We might utilize
magic. Lha wong David Copperfield aja bisa bikin magic, mosok SMAN 5 Sby
tidak bisa melakukan hal yg sama…!”
But of course we need no magic for that. Yang dibutuhkan hanyalah
inovasi dan kreatifitas saja. Sisanya adalah hard work dengan
memanfaatkan network. Tapi kalau bisa melakukan ini maka hasilnya bisa
lebih dahsyat dari magicnya David Copperfield…!
Salah satu keprihatinan utama saya adalah lemahnya kompetensi membaca
dan menulis siswa Indonesia. Padahal literasi merupakan induk dari
segala ilmu. Baik itu ilmu sastra, fisika, matematika, dll. kita
memerlukan literacy skills yang memadai untuk bisa menganalisa dan
memproduksi teks secara kritis dan analitis. Pendidikan kita membutuhkan
kegiatan-kegiatan literasi yang berkualitas. Budaya baca dan tulis
harus disuburkan di dunia pendidikan kita. Saat ini boleh dikata tidak
ada budaya baca dan tulis di sekolah.
Menurut Dr. Roger Farr “Reading is the heart of education”. Tanpa
membaca pendidikan akan ‘mati’.Membaca merupakan batu loncatan bagi
keberhasilan di sekolah dan dalam kehidupan kelak dalam masyarakat.
Tanpa kemampuan membaca yang layak, keberhasilan di sekolah lanjutan dan
di perguruan tinggi adalah tidak mungkin. Glenn Doman menyatakan
“Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup”.
Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Dengan kemampuan
membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat
keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan
membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik.
Sebetulnya bagi umat Islam, perintah pertama Tuhan kepada Nabi
Muhammad adalah ”MEMBACA (IQRA)” Allah menurunkan wahyu pertama-Nya
dengan PERINTAH MEMBACA : IQRA’! dan perintah tersebut diulang sampai
tiga kali. Itu artinya Allah menginginkan agar umat Islam menjadi UMAT
YANG GEMAR MEMBACA (ummatun qari’atun). Sayang sekali bahwa kunci
penting bagi kemajuan individu dan bangsa ini justru tidak dilakukan dan
bahkan tidak dianggap penting oleh umat Islam. Padahal berdasarkan
penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak
kurang dari 840.000 kata per minggu. Berapa banyakkah kita membaca
dalam sehari? Cukupkah itu untuk menjadi manusia modern?
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan Pak Suparto Brata.
Beliau adalah seorang penulis yang sangat produktif dengan hasil karya
lebih dari 100 buah buku dan namanya tercatat dalam buku Five Thousand
Personalities of the World Sixth Edition, 1998. Beliau juga tiga kali
mendapat Hadiah Rancage karena jasanya mengembangkan sastra dan bahasa
Jawa. Dalam salah satu bukunya Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku
beliau mengutip pernyataan Prof Dr. Ayu Sutarto yang menyatakan bahwa
tantangan bangsa Indonesia ke depan adalah mengubah dirinya dari
masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan menjadi masyarakat
yang bertradisi keaksaraan (literacy). Masyarakat yang bertradisi
keaksaraan (atau menurut istilahnya ’sastrawi’) adalah masyarakat yang
mau membaca buku dan berpikir, kritis bukan hanya terhadap kebohongan,
kekeliruan, atau kemunafikan orang lain melainkan juga terhadap dirinya.
Beliau sangat menyesalkan kenyataan bahwa anak-anak kita yang setaraf
SMA lulus UNAS dengan nilai yang tinggi-tinggi tapi tidak membaca buku
sejudul pun! Itu artinya mereka tidak hidup sastrawi karena pola
pendidikan nasional Indonesia tidak memberi kesempatan untuk
membudayakan generasi bangsa untuk membaca dan menulis buku.
Taufik Ismail pernah melakukan riset pada tahun 1996 dan menemukan
bahwa para lulusan SMA di Jerman rata-rata telah membaca 32 judul buku,
siswa Belanda 30 buku, siswa Rusia 12 buku, siswa Jepang 15 buku,
Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunai 7 buku, dan siswa Indonesia ….
0 buku!
Dengan pedas Suparto Brata menyatakan bahwa kita adalah bangsa
primitif yang hidup di jaman modern! Semakin maju peradaban dunia
semakin modern peralatan yang kita gunakan tapi kita sebagai manusianya
tetaplah primitif selama kita tidak memiliki budaya membaca dan menulis.
Beliau menceritakan bahwa pada jaman Belanda, yang kemudian berlanjut
ke jaman Jepang dan Orde Lama, pelajaran sekolah paling penting adalah
MEMBACA DAN MENULIS BUKU mulai kelas 1 SD sampai dengan kelas 12 SMA.
Tiap hari pasti ada pelajaran membaca buku (sastra) sehingga sejak SD
anak-anak memang sudah gemar membaca buku berbahasa apa saja.
Saat ini anak-anak kita diberi pelajaran begitu banyak tapi
meninggalkan kegiatan membaca dan menulis buku. Akibatnya saat ini
anak-anak kita tidak memiliki kegemaran dan ketrampilan membaca dn
menulis. Oleh sebab itu kita harus melakukan upaya serius untuk
mengatasi masalah rendahnya minat baca dan tulis pada siswa dan berusaha
untuk melatih ketrampilan siswa melalui program Gerakan Literasi
Sekolah. Harus ada upaya intervensi secara sistemik, massif, dan
berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya membaca pada masyarakat (dunia
pendidikan) sekarang juga. Kalau tidak, masa depan bangsa adalah
taruhannya! Kita bisa memulainya dengan menjadikan membaca menjadi
budaya di sekolah. Kita perlu menanamkan budaya membaca pada anak sejak
di SD dengan kegiatan membaca SETIAP HARI (bukan dengan himbauan atau
slogan dan jargon). Program membaca setiap hari harus ada di sekolah dan
masuk dalam kurikulum.
Jadi salah satu program penting saya adalah mengembalikan program
peningkatan literasi membaca dan menulis bagi siswa di SMAN 5 Sby.
SMAN 5 Surabaya akan diupayakan agar menjadi ‘A Reading and Writing
School’ yang artinya sekolah yang memiliki budaya membaca dan menulis
yang setara dengan sekolah-sekolah di negara maju lainnya. Ada pun misi
yang akan dilakukan adalah
Home » Sekolah » SMAN 5 SURABAYA : MENJADI SEKOLAH TERBAIK DI INDONESIA
SMAN 5 SURABAYA : MENJADI SEKOLAH TERBAIK DI INDONESIA
Diposting oleh Unknown on Selasa, 13 November 2012
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar